Tuesday, June 11, 2013

Akik lafadh Allah

Deskripsi : kali ini hikmah kunjung silaturahmi bawa hasil lain. 2 hari lalu, seperti biasa tawaran rekan kerap pada wujud arloji. Gak seperti biasa, ada  penunjukan sebentuk wujud "jewels" lain. Akik atawa batu Agate. Entah dengan jenis inisial apa. Wujudnya lonjong.. pipih. Pola cutting dan gosok yang mungkin berupaya peroleh performa lahiriah-nya. Dari perform kilas warna serupai batu marmer/pualam. Hanya ada sedikit clarity... fusi nuansa samar agak redup, bercampur warna kental putih susu. Terdapat alur retak khas batu. Menarik-nya, beberapa ruas serat batu membentuk seolah coretan huruf arab sederhana. Lafadh Allah.

Wujudnya semakin menunjukkan sensasi unik tatkala saya soroti sekedar lampu LED (media Jewellery Identifying Magnifier). Posisi Alif awal, justru di wakili oleh lengkungan khas pinggiran batu yang berwarna putih susu tadi. Yang kesan agak terpisah dengan rangkai huruf "W" yang menyerupai huruf lam-lam-haq. Jadi seolah mengikuti pola standar tajwid dan sifat dasar huruf hijaiyah. Bahwasa-nya hanya huruf alif yang tidak dapat di sambung dengan huruf lain. Alias tegak dengan sendiri-nya. Persis pesan filosofi, yang awal yang berdiri tegak.
Paling tidak ini bakal menjadi kolektibel item yang beda. Mengingat bentuk-nya yang agak oval panjang. Bukan gunduk cabochon. Agak riskan jika dibentuk menjadi mata cincin. Barangkali akan tepat menjadi format hiasan liontin jika diperuntukkan perhiasan perempuan. Tapi gak nutup kemungkinan, dibentuk menjadi hiasan mata gelang. 
At least, apalah nanti. Sekedar semangat berbaur...Bertepatan dengan menyambut momentum Isra Mikraj, Nabi besar Muhammad SAW. 27 Rajab 1434 Hijriah. Mengawali sejarah perjalanan menuju sidratul muntaha menemui Tuhan-nya. Senantiasa menjaga ikatan silaturahmi... dan tetap antusias kian berupaya meningkatkan ritme taqwa ke Hadirat Allah SWT. Semoga menjadi hamba terpilih.


 

 




 

 

 

 

Dimensi
panjang/length : 28mm
Lebar/width : 13mm
Tebal/Thickness : 5.5mm




Saturday, May 18, 2013

Kelewang Sasak

Citra senjata khas Sasak ada berbagai macam ragam. Secara garis besar di bedakan dalam 3 kategori :
  • senjata tikam / stabbing weapon
  • senjata tetak / chopping weapon
  • senjata tusuk / piercing weapon.
Senjata tikam meliput berbagai jenis pisau maupun purna rupa keris. Salah satu jenis pisau yang bisa ditemui di etalase pajangan Museum NTB, terdapat pisau dengan bentuk mengadopsi rupa badik. Artinya secara tehnik serang lebih dititik beratkan pada tabiat hujam sesuai dengan ujung runcing-nya. Dan bermata bilah tajam di satu sisi bilah. Dan dapat mengandalkan sabetan.
Lalu untuk senjata tetak. demikian juga pada bilah hanya terdapat satu sisi tajam. Bentuknya diwakili oleh varian pedang, kelewang dan parang. Gaya penggunaan tentu pada tehnik tebas. Lain halnya dengan senjata tipe tusuk. Rana sajam khas Lombok lebih di dominasi oleh pelbagai senjata yang disebut Cundrik. Berupa logam lurus dengan dimensi ujung tajam. Untuk kalangan manula, biasanya dirupa samarkan dengan sarung bentuk tongkat. Lurus memanjang. Konon pada masa lalu bagi kalangan tetua, yang bepergian masuk hutan mencari sumber pangan, mereka persenjatai diri demi antisipasi gangguan hewan liar/ganas yang bisa membahayakan keselamatan diri.
Beda lain tipe senjata tusuk yang di sandang kaum bangsawan. Tampilan Cundrik tidak terlampau panjang menyerupai tongkat berjalan. Dibikin sedikit lebih pendek, menyerupai tongkat komando. Meskipun secara fungsi hampir sama dengan tehnik hujam badik. Salah satu referensi mengatakan muasal lafal cundrik (di eja sundrik) sebenarnya juga masih bermuara pada bentuk rupa senjata khas asal Sulawesi yang disebut Salapu. Yaitu tipe badik dengan kedua mata bilah tajam di sisi-nya. Salapu sendiri untuk kalangan masyarakat Bima lebih dikenal dengan istilah Sonri.

Kembali pada tema Judul...,
Kelewang sasak, yang pada inset atas adalah hasil jepretan saya di etalase Museum NTB. Jajaran benda etno khusus sajam. Secara bentuk adalah pedang. Sebagian menyebut sebagai kelewang Sasak. Ciri unik terutama pada bentuk bilah yang sedikit membengkok. Pangkal hulu memakai bahan tanduk dan umum-nya di bungkus logam bahan perak. Hulu tipe ini disebut Garuda Mungkur.
Yang menjadi lain, bagi anda yang berkesempatan menyaksikan langsung di etalase museum NTB. tentu akan anda dapati 4 bilah pedang. Tanpa di lengkapi sarung/gandar. Pada sisi bilah di hiasi grafir kaligrafi huruf arab. Konon dipakai sebagai senjata dalam epos sejarah perlawanan terhadap kaum penjajah, Belanda. Bisa jadi rangkaian ayat copas kitabullah yang mungkin menebar aura, bagi penyandang-nya akan tampil lebih berani di medan laga.
Saya pribadi masih riskan untuk mengambil konklusi tentang ke-aslian grafir tadi. Entah sekedar kaligrafi ataupun berupa perca racik ajimat. Pasalnya begini-ni...,
Dikatakan sebagai benda lama yang mungkin terlahir di kisar rentang tahun 1700-1800. Tehnik grafiran yang tertera di jajaran pedang tadi terlalu rapi. Mestinya klo melihat perkembangan dan tehnologi budaya menulis saat itu, sangat kontras. Antara bilah yang legam dan kerikan/grafiran tehnik dangkal terasa ada beda warna, Huruf arab (hijaiyah) terliat grafir baru. Terlihat nuansa alur terang. Mestinya kalau grafiran tipe lampau biasa agak tidak terlalu rapi. Secara mudah terbaca dan sesuai edar waktu tetap menyatu dengan warna bilahnya. Ini sih alibi bahan observasi awal saja.
Tafsiran kedua, beralih pada pengamatan berbagai jenis pedang Sasak yang masih ditemui di-luaran. Baik yang masih tersimpan oleh aseli pemiliknya maupun yang beredar di tangan para penjual barang antik. Sangat jarang, bahkan gak pernah saya lihat bilah pedang sasak memiliki grafiran kaligrafi arab. Semua selalu bilah polos. Hanya dibedakan pada varian pamor bilah saja. Hasil pola tehnik tempa oleh para empu pembuat-nya.
Di kesempatan lain saya pernah konfirmasi pada satu rekan di Lombok Timur, yang selain gandrung di sinyalir beberapa senjata khas Lombok berasal dari sana. Penjelasan singkat. di wilayah sakra konon pedang ini disebut Cacaran. Semakin saya bingung dibuatnya. Sebab bagi kalangan komunitas bali, cacaran merujuk pada keris dengan dapur tersendiri. Debut lokal hindu bali yang menyebut dapur pasopati. Entahlah mana yang benar. Karena sesuai perkembangan nuansa budaya begitu banyak faktor akulturasi. Sehingga bisa jadi turut mewarnai juga dalam perkembangan benda etnografis khas sasak-Lombok.

Berikut saya sertakan beberapa dokumentasi foto pedang or klewang sasak, Spesikasi terliput :
  • over all-length with sheath : 64 Cm
  • blade's length : 42.5 Cm
  • Hilt length : 14 Cm
  • Hilt model : Garuda Mungkur
  • blade motif/ pamor : Pancoran
Note : pada sarung, terutama pada bagian hilt/hulu sudah tidak terdapat cover perak. Pastinya telanjang. Bisa jadi pada tahap urut sekian pemilik telah menguliti rupa samak. Hal yang sebenarnya patut di sayangkan. Apalagi kalau ternyata hal itu dilakukan sekedar ingin menjual lempeng perak-nya saja. Di-lego demi sejumlah nominal rupiah yang justru mengurangi kadar estetika sang pedang antik.









Wednesday, May 8, 2013

duo keris Madura....,

Selayang pandang. Konon dari pemilik terdahulu merupakan warisan dari temurun bebuyut asal Madura. Sekalipun secara totalitas fisik masih tetap menganut pakem khas Jawa. Bagian pangkal gandar atau yang dikenal sebagai angkup, tampak tidak menyerupai angkup khas madura. Biasanya model angkup tidak terlalu melebar plus hias ragam ukir.
Alasan yang paling mendasar, bisa jadi ini memang keris jawa yang kemudian di warisi oleh garis temurun keluarga asal regional Madura. Lalu terbawa dalam alur hijrah silam ke tanah Lombok.
Tampil dengan spesifikasi pembeda. Kedua-nya tipe bilah lurus. Model Ladrangan berwarangka lebih panjang. Kayu legam coklat dengan jenis belum teridentifikasi jelas. Gandar terbuat dari kayu utuh, bukan tipe sambung apit. Mendak tunggal bahan kuningan. Hulu terbuat dari gading dengan bentuk handel agak pipih dan berukir khas. Pola sulur (tanaman rambat) serta daun ber-gerigi. Bilah berpamor kusam dengan bangun mendekati khas hunus Pasopati. dan memiliki alur bungkul di garis tengah bilah. Menurut pitutur pemilik dulu sekedar sebagai benda pajang. Mengarah ikon keris Tayuhan.

Model Gayaman, memiliki size lebih pendek. Tipe kayu tidak diketahui pasti. Warangka terbungkus pendok berbahan perak minor hias ukir. Hunus bilah berpamor adeg mrambut dan tipe ganja iras, yaitu berupa alur garis linier yang membentang sekujur bilah hingga menyentuh bagian ganja. Mendak, berupa 3 tumpuk cincin. Tengah bahan kuningan dengan tipikal gerigi tajam. Diapit 2 cincin selut besar-kecil dengan varian hias pernik batu intan. Beberapa butir terlihat copot dari pakem cekah-nya. Bagian hulu terbuat dari bahan Tanduk (horn) dengan formasi ukiran yang cukup detil, complicated dan rumit. Sekaligus menyimpan aura keindahan yang menawan. Performa yang 'kecil' menyerupai purna rupa badik sulawesi. Sehingga wajar kalo dikatakan pernah menjadi keris tipe Ageman. Tipe sandang yang amat comfortable... tidak gamblang terlihat. Karena mudah diselip tersembunyi.




hulu gading, dan formasi pola patra (daun & sulur)

hulu tanduk - pola ukir dan butiran intan pada selut

proses membersihkan bilah.....,
Yuk, amati data spesifikasi tiap keris ;

Data Keris panjang
Overall blade : 43 Cm
length of blade : 31 Cm
Hilt material : carving Ivory
size of hilt : 8.5 Cm
type of blade : straight
Pamor : un-known
Dapur : Pasopati
Ring : Single brass-ring.

blade's length 31 cm







posisi imbang vertikal
Data keris Kecil
Overall blade : 27 Cm
length of blade : 17.5 Cm
Hilt material : carving horn
size of hilt : 6 Cm

type of blade : straight
Pamor : Adeg mrambut (hair-line)
Dapur :  ----
Ring : triple brass-ring with dual ring filled Diamonds



over all length 27 Cm


pamor adeg mrambut... ganja iras (tanpa ganja.. menyatu dengan bilah)


duo keris dan posisi imbang vertikal

Sunday, April 14, 2013

Takepan ...karya sastra lontar

pajangan Takepan di etalase museum NTB
Dalam lipatan warsa silam, karya sastra di Lombok termasuk berkembang pesat. Merupakan segmentasi perbendaharaan budaya gemar menulis, identifikasi geliat sastra klasik. Berupa naskah lontar maupun akrab dengan istilah manuskrip.
Hal ini ditandai dengan masih ditemukan beberapa karya tulis, kadang masih ditemui edar dan simpan di kalangan warga. Sekalipun jumlahnya sejalan waktu kian mengalami degradasi. Bisa jadi rusak akibat tidak dipelihara maksimal. Langkah konservasi yang setengah hati. Atau, bahkan beralih status kepemilikan di tangan para kolektor dan pemburu barang antik. 
Karya tulis berbasis daun lontar kering ini bagi kalangan lokal lombok dikenal dengan debut Takepan Sasak. Secara aplikatif eksistensi lontar pada masa itu bisa merupakan wahana media penyalur hasrat menulis. Bidang linguistik dan kobar semangat literasi jauh sebelum mengenal era kertas. Yang jika dipikir-pikir lagi betapa kontradiktif dengan perkembangan era kini. Ketika kertas menjadi lumrah dipakai, tercetus ide lain demi alasan konservasi tematik hijau. Bahan dasar olah kertas yang berasal dari pulp ternyata bahan baku utama-nya dari pohon. Maraknya ilegal lodging berimbas pada sub-olahan, fenomena kertas. Sejalan tehnologi IT dan bidang komputasi semakin bergaung lagi kampanye demi dukung aksi hijau, paperless.
Betapa unik, serasa dari warisan budaya lawas ini saya pribadi diajak me-refleksi-kan lintas masa dan kurun peradapan, terapan ramah lingkungan sudah lama berlaku. Sekalipun saat itu terlalu riskan dikatakan telah mengenal filosofi tehnologi daur ulang. Mungkin baru terpikir sekedar memanfaatkan bahan baku yang tersedia oleh alam. Tidak cuma berfungsi sebagai kulit pembungkus tembakau..bak rokok klobot (kulit jagung). Rokok lontar, demikian dinamai oleh etnis Samawa.

Bagi sesiapa yang sempat kunjung ke mataram - Lombok, masih bakal bisa jumpai beberapa takepan sasak di museum NTB. Seperti yang tampak pada inset diatas. Kebanyakan konten berisi petuah adat dan kearifan lokal. Beberapa hikayat lama baik sadur maupun taste lokal. Semisal sesuai pajangan etalase, ada yang disebut takepan Menak Percinan, menggunakan aksara sasak (jejawan) namun memakai bahasa jawa madya (krama Madya). Isi menceritakan perkawinan menak (bangsawan) Amir Hamzah dengan putri Cina. Takepan Jatiswara, bertutur tentang pengembaraan religius sufistik tokoh Jatiswara mencari kesejatian. Takepan Usada, berisi racik ramuan obatan tradisional, farmakologi tradisional (istilah usada mengingatkan nama apotik yang saya tau inisial Husada - sanskrit * red). Takepan Cilinaya, kisah perjalanan liku hidup putri Cilinaya berpisah dari suami & anak hingga kelak bersatu kembali. Takepan Rengganis, kisah romantika cinta segitiga antara Raden Repatmaja dengan Dewi Rengganis dan Dewi Kadarmanik. Takepan Indarjaya, bertutur tentang ihwal Indarjaya beribadah dan belajar ilmu agama ke Syeikh Salamuddin. Takepan Babad Suwung, kisah ihwal kerajaan Suwung yang para putra-nya disebar untuk mendirikan kerajaan kecil di tanah Lombok, seperti : Bayan, Sokong, Medain, Kuripan, Lombok, Pejanggik, Banuwa,dll. Takepan Kotaragama, deskripsi aturan perundangan, pemerintahan dan kepemimpinan. Takepan Monyeh, kisah romantis tokoh berinisial Muncar yang menjelma menjadi monyet/kera dengan denda Winangsiya (sedikit tergelitik, probabilita merujuk acuan legenda Lutung Kasarung).

Berikut dibawah ini saya sertakan pembanding lain. Bukan takepan sasak tapi takepan asal Bali. Setidaknya menjadi bukti tentang ada-nya proses akulturasi budaya literasi. Estapet muasal varian bahasa manuskrip yang umumnya di sadur dalam sajian takepan, seperti dikatakan bahwa selain bahasa sasak dengan tipikal aksara yang di sebut jejawan. Juga terkait dengan ejaan kawi (jawa kuno) dan sansekerta. Dan nuansa jawa tidak ada bedanya dengan unsur Bali. Kedua-nya sangat mempengaruhi budaya bidang sastra Lombok lampau.


secara fisik luar, ciri mudah dilihat dari sajian toreh gambar


ditilik pada tampilan isi. bentuk huruf aksara terlihat lebih renggang dengan gaya tarikan tangan yang lebih
santai. Bentuk huruf cenderung mem"bulat".  membentuk kurva dan lengkung yang khas. Mungkin gaya penulisan
seperti tehnik menulis indah. sangat rapi.. Perlahan dan teliti. Format lain, sajian 2 alur kolom.

Bandingkan dengan penampilan takepan Lombok

Fisik luar cover kayu terlihat polos

untaian benang tengah di hiasi koin (lokal : Koin Bolong) dan pada ke-dua ujung dipasang pasak kayu untuk pemegang tiap helai lontar. Sehingga terlihat rapi sesuai pakem performa-nya.

Agak beda dengan gaya takepan bali (diatas), aksara jejawan di takepan lontar sasak ini terlihat lebih mengalir....,
spontan dan lugas. POIN pembeda lain-nya, tulisan tidak terbagi dalam kolom. tetapi berupa paragraf dan baris kalimat yang tersaji utuh. Kiri-kanan tanpa di pisahkan alur kolom seperti pada takepan lontar khas Bali.

Hampir sama klo mengutip ilmu Grafologi (mempelajari karakter seseorang dari gaya tulisan tangan), tipe huruf juga tersaji lebih lugas dan mengalir santai. Kepribadian penulis mungkin tipikal merdeka dalam ekspresi.
Bahkan dalam penutup takepan ini, tampilan huruf banyak didominasi tegakan... barangkali di baur dengan aksara Hijaiyah, Arabic alphabet.

Terlebih pada takepan Sasak ini. Nuansa huruf-nya lebih lugas. bahkan cenderung berkarakter tegas. Jarak antar huruf  terlihat sangat rapi... dinamis. terasa sekali gores dan alur tekan tebal-tipis. Formasi aksara tidak lagi membulat... tapi lebih banyak bujur tegak. Ada indikasi baur huruf arab... vertikal alif dan lam. atau Lam-alif.   
pada helai lontar ini bahkan banyak huruf yang melebihkan toreh "ekor" menjuntai bawah. Sangat komplikatif... runyam. Namun menjadi penyajian fakta yang ada. Mirip tampilan khas aksara mesir kuno, Hieroglif. Hanya tidak menyertakan bubuh ikonik gambar.

Last but not least. Belum cukup kemampuan yang memadai bagi saya untuk mengambil konklusi perihal begitu banyaknya varian takepan yang ditemui.
Khazanah literasi budaya dan muatan warna lokal tentu akan banyak berpengaruh. Sebagaimana disebutkan bahwasa-nya dalam perkembangan awal karya tulis dan sastra di NTB. Telah berlapis nuansa dan ritme etnis. Termasuk dampak infiltrasi warna melayu dan taste arabian. Semua bermuara pada kekayaan dan spektrum budaya rana sunda kecil, yang kelak dikenal secara fusi-geografis dinamai Nusa Tenggara Barat. Seperti yang bisa anda sekalian amati di inset terakhir. Aksara Tradisional. Begitu butuh banyak referensi di kajian-kajian mendatang. Salam gemah ripah... purna pekerti... budi dan daya.

Tuesday, February 26, 2013

Keris Lombok - Sempana luk 9

Karakteristik :
overall length : 62 Cm
Blade's length : 43 cm
Dapur style :  -
Angkup : tolang paok
Hilt length : 12 Cm
Wooden material :  Kayu Purnama
Type of Hilt : Bondolan
Type of blade : luk 9 ( curvaceous blade )
Pamor / blade motive : Non motive

Deskripsi singkat :
Secara bangun fisik keris ini mirip dengan pakem umum keris lombok lain. Pegangan bentuk tembem yang  disebut bondolan. Angkup bentuk tolang paok. Lebih mengarah tampilan style Gayaman. Sedikit beda adalah opsi bahan kayu. Ber-material kayu purnama. Sedikit lebih berat bobotnya dibanding kayu Timoho/Berora. Terlihat pori permukaan kayu lebih padat. Namun lebih ringan jika dibanding Kemuning atawa Kayu Bira. Pola motif legam (pamor kayu) juga menunjukkan eksotisme tersendiri. Pada bagian angkup terlihat pola linier tebal. Dibagian handel (Danganan/Dande) menyerupai lingkar tompel. Sementara di bagian gandar terlihat pola alur serat diagonal. bukan bentuk utuh... tetapi merupakan rekayasa 'mozaik' memanfaatkan residu kayu sejenis. Alur serat linier ini pada kayu purnama sebagian orang menjuluki inisial "kendit".
Ada istilah lain yang menyebut dapur keris ini tipe Sempana Kalentang. Merujuk pada buku dengan judul "Bentuk & gaya Keris NTB".  Khusus pada tipe keris luk 9. Segi fisik yang mudah ditandai adalah bentuk luk terlihat lekuk yang tidak dalam. Agak kontradiktif dengan sebutan yang beredar umum. Komunitas Bali menyembut istilah nyempane merujuk pada cara penyisipan keris di pinggang. Bagi kalangan lokal sasak lebih kenal dengan istilah keris Selepan. Nyelep adalah cara menyelip keris di pinggang dengan posisi miring ke kanan. Secara gramatikal menjurus pada "masa tertentu" ketika lelaki masih dominan, dan dianggap lumrah menyandang keris, pergi ke manapun. Artinya identik keris sebagai senjata.  Memang dipersiapkan untuk disandang. Dipergunakan bila mana perlu. Kondisi emergensi.. kritis. Tentu akan beda konotasi dengan era masa kini.
Keris, toh tidak lagi dipandang sekedar benda senjata biasa, sebagai perkakas tarung. Melainkan sebagai benda cagar budaya. Ikon seni yang patut dilestarikan. Secara leksikon, ada tata cara penempatan selain selepan, ada kategori Singkuran. Menyelipkan di punggung belakang... lebih sering terlihat pada prosesi upacara adat. Biasa dikenakan size keris 30cm ke-atas.
Jadi, varian istilah sempane atau selepan, tidak lepas dari pembauran budaya yang melatar belakangi dimasa lalu. Perihal unsur penetrasi dampak kultur perkerisan khas Nusantara, khususnya alur Barat. Sinergi simbiosis dan estapet sejak dari Jawa..Madura.. Bali hingga Lombok. Kadang kontradiktif sekaligus purna rupa khazanah budaya bidang metalurgi.

Secara penampilan luar, warangka bukanlah tipe lawas. Tapi bangun baru. Memadu-padankan bilah kuno sebagai satu kesatuan bangun utuh. Dan ini lumrah saja dianggap sebagai upaya restorasi. Legam pada bilah meninggalkan jejak eks hasil warangan. Sekaligus terbaca jejak olah tempa khas bahula. Bungkul lis tengah bilah. Permukaan serat bilah terlihat kasar...ceruk dan ritmik bopeng. Efek panas bara dan celupan air. Jejak udara yang terjebak dibilah. Selama proses bikin.
Pigmen kayu adalah penampilan aseli purnama. Tanpa dipoles bahan warna pelitur khusus. Hanya disemprot pelindung transparasi. Demi tercapai nuansa alami. Semoga kelilipan... silahkan cuci-mata! 











selut.... berupa cincin perak dengan sematan batu




terlihat sambungan antar lempeng kayu...,



detail on blade... non pamor

vertikal balancing