Citra senjata khas Sasak ada berbagai macam ragam. Secara garis besar di bedakan dalam 3 kategori :
- senjata tikam / stabbing weapon
- senjata tetak / chopping weapon
- senjata tusuk / piercing weapon.
Senjata tikam meliput berbagai jenis pisau maupun purna rupa keris. Salah satu jenis pisau yang bisa ditemui di etalase pajangan Museum NTB, terdapat pisau dengan bentuk mengadopsi rupa badik. Artinya secara tehnik serang lebih dititik beratkan pada tabiat hujam sesuai dengan ujung runcing-nya. Dan bermata bilah tajam di satu sisi bilah. Dan dapat mengandalkan sabetan.
Lalu untuk senjata tetak. demikian juga pada bilah hanya terdapat satu sisi tajam. Bentuknya diwakili oleh varian pedang, kelewang dan parang. Gaya penggunaan tentu pada tehnik tebas. Lain halnya dengan senjata tipe tusuk. Rana sajam khas Lombok lebih di dominasi oleh pelbagai senjata yang disebut Cundrik. Berupa logam lurus dengan dimensi ujung tajam. Untuk kalangan manula, biasanya dirupa samarkan dengan sarung bentuk tongkat. Lurus memanjang. Konon pada masa lalu bagi kalangan tetua, yang bepergian masuk hutan mencari sumber pangan, mereka persenjatai diri demi antisipasi gangguan hewan liar/ganas yang bisa membahayakan keselamatan diri.
Beda lain tipe senjata tusuk yang di sandang kaum bangsawan. Tampilan Cundrik tidak terlampau panjang menyerupai tongkat berjalan. Dibikin sedikit lebih pendek, menyerupai tongkat komando. Meskipun secara fungsi hampir sama dengan tehnik hujam badik. Salah satu referensi mengatakan muasal lafal cundrik (di eja sundrik) sebenarnya juga masih bermuara pada bentuk rupa senjata khas asal Sulawesi yang disebut Salapu. Yaitu tipe badik dengan kedua mata bilah tajam di sisi-nya. Salapu sendiri untuk kalangan masyarakat Bima lebih dikenal dengan istilah Sonri.
Kembali pada tema Judul...,
Kelewang sasak, yang pada inset atas adalah hasil jepretan saya di etalase Museum NTB. Jajaran benda etno khusus sajam. Secara bentuk adalah pedang. Sebagian menyebut sebagai kelewang Sasak. Ciri unik terutama pada bentuk bilah yang sedikit membengkok. Pangkal hulu memakai bahan tanduk dan umum-nya di bungkus logam bahan perak. Hulu tipe ini disebut Garuda Mungkur.
Yang menjadi lain, bagi anda yang berkesempatan menyaksikan langsung di etalase museum NTB. tentu akan anda dapati 4 bilah pedang. Tanpa di lengkapi sarung/gandar. Pada sisi bilah di hiasi grafir kaligrafi huruf arab. Konon dipakai sebagai senjata dalam epos sejarah perlawanan terhadap kaum penjajah, Belanda. Bisa jadi rangkaian ayat copas kitabullah yang mungkin menebar aura, bagi penyandang-nya akan tampil lebih berani di medan laga.
Saya pribadi masih riskan untuk mengambil konklusi tentang ke-aslian grafir tadi. Entah sekedar kaligrafi ataupun berupa perca racik ajimat. Pasalnya begini-ni...,
Dikatakan sebagai benda lama yang mungkin terlahir di kisar rentang tahun 1700-1800. Tehnik grafiran yang tertera di jajaran pedang tadi terlalu rapi. Mestinya klo melihat perkembangan dan tehnologi budaya menulis saat itu, sangat kontras. Antara bilah yang legam dan kerikan/grafiran tehnik dangkal terasa ada beda warna, Huruf arab (hijaiyah) terliat grafir baru. Terlihat nuansa alur terang. Mestinya kalau grafiran tipe lampau biasa agak tidak terlalu rapi. Secara mudah terbaca dan sesuai edar waktu tetap menyatu dengan warna bilahnya. Ini sih alibi bahan observasi awal saja.
Tafsiran kedua, beralih pada pengamatan berbagai jenis pedang Sasak yang masih ditemui di-luaran. Baik yang masih tersimpan oleh aseli pemiliknya maupun yang beredar di tangan para penjual barang antik. Sangat jarang, bahkan gak pernah saya lihat bilah pedang sasak memiliki grafiran kaligrafi arab. Semua selalu bilah polos. Hanya dibedakan pada varian pamor bilah saja. Hasil pola tehnik tempa oleh para empu pembuat-nya.
Di kesempatan lain saya pernah konfirmasi pada satu rekan di Lombok Timur, yang selain gandrung di sinyalir beberapa senjata khas Lombok berasal dari sana. Penjelasan singkat. di wilayah sakra konon pedang ini disebut Cacaran. Semakin saya bingung dibuatnya. Sebab bagi kalangan komunitas bali, cacaran merujuk pada keris dengan dapur tersendiri. Debut lokal hindu bali yang menyebut dapur pasopati. Entahlah mana yang benar. Karena sesuai perkembangan nuansa budaya begitu banyak faktor akulturasi. Sehingga bisa jadi turut mewarnai juga dalam perkembangan benda etnografis khas sasak-Lombok.
Dikatakan sebagai benda lama yang mungkin terlahir di kisar rentang tahun 1700-1800. Tehnik grafiran yang tertera di jajaran pedang tadi terlalu rapi. Mestinya klo melihat perkembangan dan tehnologi budaya menulis saat itu, sangat kontras. Antara bilah yang legam dan kerikan/grafiran tehnik dangkal terasa ada beda warna, Huruf arab (hijaiyah) terliat grafir baru. Terlihat nuansa alur terang. Mestinya kalau grafiran tipe lampau biasa agak tidak terlalu rapi. Secara mudah terbaca dan sesuai edar waktu tetap menyatu dengan warna bilahnya. Ini sih alibi bahan observasi awal saja.
Tafsiran kedua, beralih pada pengamatan berbagai jenis pedang Sasak yang masih ditemui di-luaran. Baik yang masih tersimpan oleh aseli pemiliknya maupun yang beredar di tangan para penjual barang antik. Sangat jarang, bahkan gak pernah saya lihat bilah pedang sasak memiliki grafiran kaligrafi arab. Semua selalu bilah polos. Hanya dibedakan pada varian pamor bilah saja. Hasil pola tehnik tempa oleh para empu pembuat-nya.
Di kesempatan lain saya pernah konfirmasi pada satu rekan di Lombok Timur, yang selain gandrung di sinyalir beberapa senjata khas Lombok berasal dari sana. Penjelasan singkat. di wilayah sakra konon pedang ini disebut Cacaran. Semakin saya bingung dibuatnya. Sebab bagi kalangan komunitas bali, cacaran merujuk pada keris dengan dapur tersendiri. Debut lokal hindu bali yang menyebut dapur pasopati. Entahlah mana yang benar. Karena sesuai perkembangan nuansa budaya begitu banyak faktor akulturasi. Sehingga bisa jadi turut mewarnai juga dalam perkembangan benda etnografis khas sasak-Lombok.
Berikut saya sertakan beberapa dokumentasi foto pedang or klewang sasak, Spesikasi terliput :
- over all-length with sheath : 64 Cm
- blade's length : 42.5 Cm
- Hilt length : 14 Cm
- Hilt model : Garuda Mungkur
- blade motif/ pamor : Pancoran
Note : pada sarung, terutama pada bagian hilt/hulu sudah tidak terdapat cover perak. Pastinya telanjang. Bisa jadi pada tahap urut sekian pemilik telah menguliti rupa samak. Hal yang sebenarnya patut di sayangkan. Apalagi kalau ternyata hal itu dilakukan sekedar ingin menjual lempeng perak-nya saja. Di-lego demi sejumlah nominal rupiah yang justru mengurangi kadar estetika sang pedang antik.