Kali ini hadir lagi sebuah "sampari", istilah lokal etnis Mbojo (Bima dan dompu) yang ber-teritorial di wilayah pulau Sumbawa bagian timur. Tampilan tetap mengadopsi dari muasal induk, khas jajaran keris Sulawesi. Variasi kayu, seperti biasanya memasangkan dua jenis pilihan, pada angkup (yang menyerupai badan kapal phinisi) dan hulu menggunakan kayu kemuning, dengan tekstur yang lebih padat. Lalu pada gandar yang bercorak coklat gelap sejauh ini belum bisa saya berhasil identifikasi. Tekstur kayu tidak sepadat kemuning, namun melihat tektur terdapat formasi belang seperti merujuk pada jenis kayu yang oleh komunitas Sulawesi dijuluki kayu Bawang.
Bentuk hulu bagi kalangan komunitas lokal NTB disebut sebagai hulu Ekor Lebah. Terdapat retakan pada hulu. Formasi luk berjumlah 9. Bagian cincin berupa penyatuan seluk dan mendak memakai bahan tembaga. Layaknya bagian dari performa umum tampilan selalu minimalis. Bilah terlihat cukup banyak terlapisi karat akibat korosi. Masih dalam proses pembersihan. Jadi belum bisa mengenali jenis alur pamor-nya. Tapi dari sekedar runut jejak... seperti jenis pamor rante. Berupa kaitan perca pola yang merangkai seperti alur rantai. Pada pangkal, bagian ganja dilengkapi formasi ri-pandan dan lambe gajah. Layaknya sebilah keris khas sulawesi, dimensinya tidak lebih dari panjang hunus mencapai 40 cm. Dan sebagai benda garap khas silam, sampari ini setidaknya masih menunjukkan titik balans ala vertikal. Porsi yang setidaknya memperhatikan kinerja dan proses kreasi tidak asal2an. Demikian......,
kini terlihat agak jelas,Pamor lebih mendekati tipe pamor ngulit semongko (istilah Jawa)
orang sasak menyebutnya "pamor Kelende"belum tau istilah mbojo menyebutnya apa...,
Menyambung in-depth mengenai sebilah sampari, ada sedikit rujukan bisa jadi acuan, karya literasi yang di keluarkan oleh DepdikBud ~ Direktorat jenderal Kebudayaan - Bagian Proyek pembinaan Permuseuman NTB, tahun 1994/1995.
Jika dirunut dari alur warna budaya per-SAJAM-an tradisional yang melintas di NTB, jalur timur pulau Sumbawa merupakan alur trah kerajaan Goa. Yang kemudian bercokol di bilangan Kerajaan Bima dan Dompu, sebagai etnis dikenal sebagai komunitas mbojo. Keris bagi komunitas mbojo lebih akrab disebut sampari.
Ada sedikit ungkapan yang menarik di halaman 26 (bab III) dari buku ini yang ulas dalam baris paragraf ringkas. Perihal bahasan Fungsi sebilah Keris. Tertulis sebagai berikut ...,
Masyarakat di kabupaten Bima dan Dompu yang berasal dari satu etnis yaitu Mbojo, mendiami bagian timur pulau Sumbawa, mengenal tradisi menganugrahkan senjata (keris) kepada anak laki-laki menjelang di-khitan. Tradisi ini disebut Compo Sampari yang berlangsung sampai sekarang. Si anak yang telah dianugrahi (Compo) keris (Sampari) dari kakek-nya, selanjutnya melakukan Maka dengan ucapan sebagai berikut : "Mada dou Rangga, Wau Jaga Sarumbu" yang arti harfiahnya, saya laki-laki jantan, sanggup menjaga diri atau membela diri.
Ada sedikit ungkapan yang menarik di halaman 26 (bab III) dari buku ini yang ulas dalam baris paragraf ringkas. Perihal bahasan Fungsi sebilah Keris. Tertulis sebagai berikut ...,
Masyarakat di kabupaten Bima dan Dompu yang berasal dari satu etnis yaitu Mbojo, mendiami bagian timur pulau Sumbawa, mengenal tradisi menganugrahkan senjata (keris) kepada anak laki-laki menjelang di-khitan. Tradisi ini disebut Compo Sampari yang berlangsung sampai sekarang. Si anak yang telah dianugrahi (Compo) keris (Sampari) dari kakek-nya, selanjutnya melakukan Maka dengan ucapan sebagai berikut : "Mada dou Rangga, Wau Jaga Sarumbu" yang arti harfiahnya, saya laki-laki jantan, sanggup menjaga diri atau membela diri.
illustration Tropen Museum - Compo Sampari ceremony (1953) |
ilustrasi bocah di gelaran acara Compo Sampari |